Jumat, 20 April 2012

Babak Baru Permusuhan Pram-TaufiqJudul
 Novel : Tembang Ilalang; Pergolakan Cinta Melawan Tirani
Penulis : MD Aminudin
Tebal : 509 hal Cetakan : Juli, 2008
 Penerbit : Semesta, Jogjakarta
FataUstad di Pon-Pes Arraudhatul Ilmiyah (Taman Pengetahuan) Kertosono-Nganjuk-JatimJl. Timur Pasar 20 KertosonoKetika hendak memilih novel, terutama yang mengangkat isu sejarah, ada dua syarat yang selalu saya pegang. Pertama, kredibilitas penulisnya. Sebab inilah yang menjadi jaminan berkualitas tidaknya sebuah novel sejarah. Kedua, tema pokok yang diangkat. Dengan dua prasyarat ini, terus terang saja saya tidak terlalu tertarik saat pertama kali melihat novel ini. MD Aminudin. Sebuah nama yang begitu asing dalam jagad per-novel-an nusantara, terutama sastra sejarah. Dan saat membaca judul novel ini otak saya langsung terbayang sebuah kisah klise tentang cinta. Yang membuat saya penasaran membeli justru endorsement yang ditulis Taufiq Ismail di cover depan novel ini. Maka, dengan sedikit mengesampingkan popularitas penulisnya, saya baca juga isi novel ini. Saya pikir pasti ada sesuatu yang menarik dalam novel ini sehingga Taufiq Ismail mau memberi komentar.“Tidak ringan menggarap novel dengan latar belakang sejarah. Pembaca diingatkan pada bagian-bagian getir sejarah bangsa. Dan itu perlu.” Sedemikian singkat catatan yang diberikan Taufiq untuk novel ini, namun terasa nyaring di telinga siapapun. Taufiq Ismail seolah hendak bersuara kepada pembaca novel tersebut bahwa kita tidak boleh lupa jika bangsa ini dibangun dari puing-puing kegetiran masa lalu, terutama yang lahir akibat totalitarianisme kaum merah. Dan kegetiran itu begitu dalam terukir dalam “Prahara Budaya” yang ditulis Taufiq bersama DS Moelyanto. Mungkin saja penggambaran di buku itu belum cukup memuaskan bagi Taufiq hingga ia menyempatkan memberi komentar pada sampul muka novel ini. Tentu saja ini bukan novel pertama yang di-endorse oleh Taufiq Ismail. Namun saya kira novel ini cukup istimewa bagi Taufiq mengingat tema yang diangkat sesuai dengan kampanye anti komunis yang disuarakannya selama ini. Dari sinilah saya menduga novel ini tentu masih berkaitan dengan concern penyair angkatan 66 itu, yaitu kampanye mewaspadai bahaya laten paham komunisme. Dan setelah saya baca, novel ini memang menggambarkan perlawanan seorang mantan aktivis komunis internasional terhadap bekas gerakannya. Di sini Aminudin hendak mengungkap sisi-sisi kelam sejarah bangsa ini yang timbul akibat ulah gerakan palu arit itu. Siapapun tahu Taufiq Ismail adalah salah satu tokoh—bersama Goenawan Moehammad—penandatangan Manifes Kebudayaan yang menentang totalitarianisme Lekra-PKI di tahun 60-an. Taufiq Ismail kemudian menjadi sastrawan lokomotif yang menarik gerbong ideologinya melawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan. Selama Orde Lama Pram dengan Lekranya telah memberangus karya-karya kelompok Manifes Kebudayaan hingga berujung pada pemenjaraan beberapa tokohnya. Sebaliknya ketika Orde Baru, Taufiq Ismail tidak mau bertegur sapa dengan Pram hingga ajal menjemput pengarang kelahiran Blora itu. Luka itu memang telah lewat puluhan tahun silam, namun tidak semudah itu menghapus luka yang kadung ‘bernanah’ itu. Meski dalam “Katastrofi Mendunia” Taufiq Ismail pernah mendeklarasikan niat “berdamai dengan masa lalu,” namun hingga Pram meninggal perdamaian itu tidak pernah terwujud. Bahkan Taufiq pernah menggugat Magsaysay Award yang diterima Pram. Di sinilah Aminudin seolah-olah memposisikan dirinya sebagai “Taufiq Ismail Baru” yang lahir untuk menandingi Ayu Utami, Eka Kurniawan, dan Ratih Kumala yang saya anggap sebagai anak ideologisnya Pram. Dalam novel Saman-nya, Ayu Utami dengan setengah telanjang menyampaikan kepada pembaca bahwa orang-orang komunis pasca prahara 1965 hanyalah korban semata dari kesalahan rezim dan kebobrokan tentara. Bahwa membunuh atau dibunuh pada saat itu cuma dipisahkan oleh tirai tipis bernama kesalahpahaman. Pembelaan Ayu Utami terhadap kaum merah baru kentara dalam novel keduanya, Larung. Bisa dikata, Ayu Utami merupakan lokomotif generasi “sastrawan merah” pasca Pram, yang kemudian diikuti banyak penulis di belakangnya, seperti Eka Kurniawan dan Ratih Kumala. Tembang Ilalang jelas bukan sekedar novel sejarah, tetapi juga novel ideologis. Munculnya novel ini menjadi kisah lanjutan pertarungan ideologis antara kaum merah dengan kaum Islam di negeri ini. Meski terkesan mundur ke belakang, pertarungan model ini tentu saja jauh lebih baik daripada demo jalanan atau kontak fisik. Dan tentu saja, novel ini mengajak anak bangsa ini untuk kembali membaca masa lalunya yang kini mulai tampak pudar termakan zaman. Satu pesan yang tampak jelas dibawa Aminudin dalam novel ini, bahwa komunisme pernah membuat noda hitam di wajah republik ini. Satu hal yang pasti, novel ini menjadi babakan baru perkelahian ideologis antara “Neo-Taufiq Ismail” melawan “Neo-Pram.” (*)

sumber : www.google.com