Babak Baru Permusuhan Pram-TaufiqJudul
Novel : Tembang Ilalang;
Pergolakan Cinta Melawan Tirani
Penulis : MD Aminudin
Tebal : 509 hal
Cetakan : Juli, 2008
Penerbit : Semesta, Jogjakarta
FataUstad di Pon-Pes Arraudhatul Ilmiyah (Taman Pengetahuan)
Kertosono-Nganjuk-JatimJl. Timur Pasar 20 KertosonoKetika hendak memilih
novel, terutama yang mengangkat isu sejarah, ada dua syarat yang selalu
saya pegang. Pertama, kredibilitas penulisnya. Sebab inilah yang
menjadi jaminan berkualitas tidaknya sebuah novel sejarah. Kedua, tema
pokok yang diangkat. Dengan dua prasyarat ini, terus terang saja saya
tidak terlalu tertarik saat pertama kali melihat novel ini. MD Aminudin.
Sebuah nama yang begitu asing dalam jagad per-novel-an nusantara,
terutama sastra sejarah. Dan saat membaca judul novel ini otak saya langsung terbayang sebuah kisah klise tentang cinta. Yang membuat
saya penasaran membeli justru endorsement yang ditulis Taufiq Ismail di
cover depan novel ini. Maka, dengan sedikit mengesampingkan popularitas
penulisnya, saya baca juga isi novel ini. Saya pikir
pasti ada sesuatu yang menarik dalam novel ini sehingga Taufiq Ismail
mau memberi komentar.“Tidak ringan menggarap novel dengan latar
belakang sejarah. Pembaca diingatkan pada bagian-bagian getir sejarah
bangsa. Dan itu perlu.†Sedemikian singkat catatan yang diberikan
Taufiq untuk novel ini, namun terasa nyaring di telinga siapapun. Taufiq
Ismail seolah hendak bersuara kepada pembaca novel tersebut bahwa kita
tidak boleh lupa jika bangsa ini dibangun dari puing-puing kegetiran
masa lalu, terutama yang lahir akibat totalitarianisme kaum merah. Dan
kegetiran itu begitu dalam terukir dalam “Prahara Budaya†yang
ditulis Taufiq bersama DS Moelyanto. Mungkin saja penggambaran di buku
itu belum cukup memuaskan bagi Taufiq hingga ia menyempatkan memberi
komentar pada sampul muka novel ini. Tentu saja ini bukan novel pertama
yang di-endorse oleh Taufiq Ismail. Namun saya kira novel ini cukup
istimewa bagi Taufiq mengingat tema yang diangkat sesuai dengan kampanye
anti komunis yang disuarakannya selama ini. Dari sinilah saya menduga
novel ini tentu masih berkaitan dengan concern penyair angkatan 66 itu,
yaitu kampanye mewaspadai bahaya laten paham komunisme. Dan setelah saya
baca, novel ini memang menggambarkan perlawanan seorang mantan aktivis
komunis internasional terhadap bekas gerakannya. Di sini Aminudin hendak
mengungkap sisi-sisi kelam sejarah bangsa ini yang timbul akibat ulah
gerakan palu arit itu. Siapapun tahu Taufiq Ismail adalah salah satu
tokoh—bersama Goenawan Moehammad—penandatangan Manifes Kebudayaan
yang menentang totalitarianisme Lekra-PKI di tahun 60-an. Taufiq Ismail
kemudian menjadi sastrawan lokomotif yang menarik gerbong ideologinya
melawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan. Selama Orde Lama Pram
dengan Lekranya telah memberangus karya-karya kelompok Manifes
Kebudayaan hingga berujung pada pemenjaraan beberapa tokohnya.
Sebaliknya ketika Orde Baru, Taufiq Ismail tidak mau bertegur sapa
dengan Pram hingga ajal menjemput pengarang kelahiran Blora itu. Luka
itu memang telah lewat puluhan tahun silam, namun tidak semudah itu
menghapus luka yang kadung ‘bernanah’ itu. Meski dalam “Katastrofi
Mendunia†Taufiq Ismail pernah mendeklarasikan niat “berdamai
dengan masa lalu,†namun hingga Pram meninggal perdamaian itu tidak
pernah terwujud. Bahkan Taufiq pernah menggugat Magsaysay Award yang
diterima Pram. Di sinilah Aminudin seolah-olah memposisikan dirinya
sebagai “Taufiq Ismail Baru†yang lahir untuk menandingi Ayu Utami,
Eka Kurniawan, dan Ratih Kumala yang saya anggap sebagai anak
ideologisnya Pram. Dalam novel Saman-nya, Ayu Utami dengan setengah
telanjang menyampaikan kepada pembaca bahwa orang-orang komunis pasca
prahara 1965 hanyalah korban
semata dari kesalahan rezim dan kebobrokan tentara. Bahwa membunuh atau
dibunuh pada saat itu cuma dipisahkan oleh tirai tipis bernama
kesalahpahaman. Pembelaan Ayu Utami terhadap kaum merah baru kentara
dalam novel keduanya, Larung. Bisa dikata, Ayu Utami merupakan lokomotif
generasi “sastrawan merah†pasca Pram, yang kemudian diikuti banyak
penulis di belakangnya, seperti Eka Kurniawan dan Ratih Kumala. Tembang
Ilalang jelas bukan sekedar novel sejarah, tetapi juga novel ideologis.
Munculnya novel ini menjadi kisah lanjutan pertarungan ideologis antara
kaum merah dengan kaum Islam di negeri ini. Meski terkesan mundur ke
belakang, pertarungan model ini tentu saja jauh lebih baik daripada demo
jalanan atau kontak fisik. Dan tentu saja, novel ini mengajak anak
bangsa ini untuk kembali membaca masa lalunya yang kini mulai tampak pudar termakan zaman. Satu pesan yang tampak jelas dibawa Aminudin dalam novel ini, bahwa komunisme pernah membuat
noda hitam di wajah republik ini. Satu hal yang pasti, novel ini
menjadi babakan baru perkelahian ideologis antara “Neo-Taufiq
Ismail†melawan “Neo-Pram.†(*)
sumber : www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar