Makna Budaya Dalam Konservasi Bangunan
dan Kawasan
AntariksaTulisan ini dilatarbelakangi atas keprihatinan dalam bidang arsitektur dan
perkotaan diIndonesia yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur
dan kota di Indonesiasaat ini banyak yang menderita sesak nafas.
Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarahdihancurkan dan ruang-ruang terbuka
disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaanarsitektur dan kota yang dikerjakan
tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan
berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial, sehinggamenghasilkan karya
berkualitas rendah. Dengan demikian, menghancurkan bangunan kunosama halnya
dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisimasa
lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu
tempatyang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga
menimbulkan erosiidentitas budaya (Sidharta & Budhiardjo, 1989).
Konservasi Sebagai Pencitraan Budaya
Budaya yang tadinya menjadi cikal bakal‘cultural heritage’
mengalami
pergeseran,dengan lajunya modernisasi dan globalisasi, dan telah mengancam
kelestarian budaya dibeberapa kawasan bersejarah, seperti kawasan keraton baik
yang terdapat di Yogyakarta,Solo, Cirebon maupun kawasan bersejarah di tempat
lain. Kondisi ini diindikasikan denganmunculnya
fenomena arsitektural yang tidak sesuai dengan nuansa budaya di kawasantersebut,
dan diimbangi dengan menurunnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap kekayaanbudayanya
sendiri. Keraton merupakan pusat kebudayaan masyarakat Jawa, dan
dapatdipastikan merupakan transformasi dari konsep filosofi Jawa, yaitu
Manunggaling
KawulaGusti
(kesatuan antara dirinya denganTuhannya) dan
Sangkan Paraning Dumadi
(memahami
asal dan tujuan segala sesuatu itu diciptakan). Konsep tersebut terkandung
dalamtata massa, bentuk bangunan maupun ornamen fisik bangunan yang terdapat di
dalamkeraton, sehingga dapat diketahui bahwa keraton memiliki nilai arsitektur
bangunan danbudaya yang tinggi.Sebagai
salah satu warisan budaya, kawasan dan bangunan bersejarah secara jelasmempunyai
tujuan untuk pengelolaan lingkungan hidup, yang dirumuskan dengan kalimat
memayu
hayuning bawana
.Artinya adalah, menjaga atau melindungi keselamatan duniadalam melestarikan
warisan budaya. Hal ini juga dipertegas lagi oleh para leluhur-leluhur
kita,
seperti diungkapkan, “
wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsibinabad,
becik den mulyakna kadya wujude hawangun
”, artinya
bangunan dengan umur yang
lebih dari
50 tahun merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan
sebagaipenelitian, menambah pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta
bermanfaat sebagaituntutan hidup (Yosodipuro, 1994). Bahkan dalam sebuah petuah
bijak pun dikatakan dengan jelas bahwa ”Yen wis kliwat separo abad, jwa
kongsi binabad ”, artinya kalau sudah melewatiseparuh abad atau 50 tahun,
jangan sampai dihancurkan. Penjelasan ini mengingatkan kitabahwabudaya
merupakan perkembangan majemuk dari budidaya yang berarti daya dari budimanusia
yang dituangkan dalam lingkungannya, sehingga mempunyai wujud yang berupacipta,
rasa dan karsa dan kebudayaan yang berarti hasil cipta, rasa dan karsa.Hal yang
sama.
Kota sebagai bagan budaya
Lewis
Mumford dalamThe Culture of Cities
(1938) melakukanpendekataninterdisipliner, antara lain ahli filosofi, sejarah,
kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, danperencana. Dalam pandangannya,
kota mempunyaicreative focal points
bagi
masyarakat, dankota …… adalah titik maksimum konsentrasi untuk power
andculture dari komuniti. Kotadibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota
dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kotadibentuk bersama-sama dengan langgam,
menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di
dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang
masih bertahan pada buildings,monuments,
dan public ways
.Kemudian
Max Weber dengan peran budaya terhadap kota dalam The City
(1905),mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan
(urbanity )
–
wujud kosmopolitandari
urban experience . Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi
puncak dariindividual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan
sejarah. Di dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozano melihat urbanity samaseperti city dengan
civilization .
Argumentasinya, bahwa
urbane
community
(komunitas
yangberbudi) adalah salah satu yang
menawarkan wargakota berbagai
Lifestyles –
kesempatanuntuk memilih, bertukar
dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnyadari sejarah
perkotaan, seperti order
(aturan) dan
diversity
(perbedaan),
harus diintroduksikembali ke dalam kota-kota
yang berkharakter membosankan danmembingungkan.Pandangan William Sharpe
dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City
(1983),di
dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya
sebagaipemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan
kesadaranmodern. Contoh lain, adalah issue spesial dalam
Journal
of Urban History
berjudul
“Cities asCultural Arenas”. Beberapa tingkat dari
urban
self-perception
menjelajah
dari kotapencerahan ( enlightenment
) abad ke-
18 ke idea
kota “decomposition” di a bad ke-20. Konsepprovokatif dari
urbanity
yang
menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas(Thomas Bender). Bender
percaya bahwa,
notion
dari
komunitas bukan salah satu yangefektif dapat diterapkan pada pusat-pusat
perkotaan yang besar, bila oleh komunitasdimaksudkan ikatan dari penduduk dari
kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai.