Selasa, 09 Juni 2015


 
Makna Budaya Dalam Konservasi Bangunan dan Kawasan

AntariksaTulisan ini dilatarbelakangi atas keprihatinan dalam bidang arsitektur dan perkotaan diIndonesia yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesiasaat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarahdihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaanarsitektur dan kota yang dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial, sehinggamenghasilkan karya berkualitas rendah. Dengan demikian, menghancurkan bangunan kunosama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisimasa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempatyang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosiidentitas budaya (Sidharta & Budhiardjo, 1989).

Konservasi Sebagai Pencitraan Budaya

Budaya yang tadinya menjadi cikal bakal‘cultural heritage’ 
mengalami pergeseran,dengan lajunya modernisasi dan globalisasi, dan telah mengancam kelestarian budaya dibeberapa kawasan bersejarah, seperti kawasan keraton baik yang terdapat di Yogyakarta,Solo, Cirebon maupun kawasan bersejarah di tempat lain. Kondisi ini diindikasikan denganmunculnya fenomena arsitektural yang tidak sesuai dengan nuansa budaya di kawasantersebut, dan diimbangi dengan menurunnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap kekayaanbudayanya sendiri. Keraton merupakan pusat kebudayaan masyarakat Jawa, dan dapatdipastikan merupakan transformasi dari konsep filosofi Jawa, yaitu
 Manunggaling KawulaGusti
(kesatuan antara dirinya denganTuhannya) dan
Sangkan Paraning Dumadi
(memahami asal dan tujuan segala sesuatu itu diciptakan). Konsep tersebut terkandung dalamtata massa, bentuk bangunan maupun ornamen fisik bangunan yang terdapat di dalamkeraton, sehingga dapat diketahui bahwa keraton memiliki nilai arsitektur bangunan danbudaya yang tinggi.Sebagai salah satu warisan budaya, kawasan dan bangunan bersejarah secara jelasmempunyai tujuan untuk pengelolaan lingkungan hidup, yang dirumuskan dengan kalimat
memayu hayuning bawana
.Artinya adalah, menjaga atau melindungi keselamatan duniadalam melestarikan warisan budaya. Hal ini juga dipertegas lagi oleh para leluhur-leluhur
kita, seperti diungkapkan, “
wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsibinabad, becik den mulyakna kadya wujude hawangun
”, artinya bangunan dengan umur yang
lebih dari 50 tahun merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan sebagaipenelitian, menambah pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta bermanfaat sebagaituntutan hidup (Yosodipuro, 1994). Bahkan dalam sebuah petuah bijak pun dikatakan dengan jelas bahwa ”Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad ”, artinya kalau sudah melewatiseparuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan. Penjelasan ini mengingatkan kitabahwabudaya merupakan perkembangan majemuk dari budidaya yang berarti daya dari budimanusia yang dituangkan dalam lingkungannya, sehingga mempunyai wujud yang berupacipta, rasa dan karsa dan kebudayaan yang berarti hasil cipta, rasa dan karsa.Hal yang sama.

Kota sebagai bagan budaya

Lewis Mumford dalamThe Culture of Cities
(1938) melakukanpendekataninterdisipliner, antara lain ahli filosofi, sejarah, kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, danperencana. Dalam pandangannya, kota mempunyaicreative focal points
bagi masyarakat, dankota …… adalah titik maksimum konsentrasi untuk  power andculture dari komuniti. Kotadibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kotadibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings,monuments, dan public ways
.Kemudian Max Weber dengan peran budaya terhadap kota dalam The City
(1905),mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity )
 –  wujud kosmopolitandari
urban experience . Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dariindividual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Di dalam Community Design and the Culture of Cities  (1990), Eduardo Lozano melihat urbanity samaseperti city  dengan  civilization  . Argumentasinya, bahwa
urbane community
(komunitas yangberbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai
Lifestyles  –  kesempatanuntuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnyadari sejarah perkotaan, seperti  order 
(aturan) dan diversity
(perbedaan), harus diintroduksikembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan danmembingungkan.Pandangan William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City
(1983),di dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagaipemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaranmodern. Contoh lain, adalah issue spesial dalam
 Journal of Urban History
 berjudul “Cities asCultural Arenas”. Beberapa tingkat dari
urban self-perception
menjelajah dari kotapencerahan ( enlightenment  ) abad ke-
18 ke idea kota “decomposition” di a  bad ke-20. Konsepprovokatif dari
urbanity
yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas(Thomas Bender). Bender percaya bahwa,
notion
dari komunitas bukan salah satu yangefektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitasdimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar